Catatan Soal Kemiskinan: Negara dan Peran Umat

by Rian121285

Kemiskinan di Indonesia terparah ke-3 di Asia Tenggara, setelah Kamboja dan Laos. Kemiskinan Indonesia lebih buruk dari: Myanmar (junta militer), Vietnam (komunis yang baru membuka diri), Philipina (demokrasi berdarah) dan, Thailand (konflik politik yang berkepanjangan).”
Ironi Kemiskinan
Betapa jumawanya seorang pejabat publik, suatu ketika dalam suatu seminar, ketika berbicara di depan podium, kemudian sambil bercanda ia mengatakan kalau orang miskin di Indonesia sekarang standar hidupnya sudah jauh lebih baik dibandingkan era sebelumnya (Orla dan Orba). “Sekarang orang miskin bisa punya HP.” Demikian katanya sambil tersenyum lebar. Mungkin saat itu, beliau tidak menonton televisi, kalau ada sebuah keluarga di Kabupaten Jepara, yang enam anaknya meninggal dunia sehabis makan tiwul yang mengandung racun mematikan. Mereka terpaksa memakannya, karena tak punya uang untuk membeli beras dan lauk-pauk. Atau gadis di Pacitan, yang tidak mampu membiayai operasi penyakitnya, pun Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yang katanya menjamin kesehatan penuh orang miskin, sudah ia miliki.
Yang lebih miris, banyak pejabat publik yang suka sekali membacakan data angka-angka kemiskinan yang mengindikasikan terjadinya penurunan. Kemudian diperlihatkan juga angka-angka anggaran penanggulangan/anti kemiskinan yang besarannya triliunan itu, sebagai sebuah kesan bahwa pemerintah pro terhadap kemiskinan. Seolah problem kemiskinan ini bersifat linier: “Bim salabim, anggaran dinaikkan, kemiskinan akan turun.” Padahal, seiring dengan kenaikan anggaran, harga-harga barang membumbung tinggi. Daya beli anjlok. Biaya produksi juga semakin mahal, yang berujung pada PHK massal buruh pabrik. Para TKI yang dideportasi kembali ke kampung halaman. Alih-alih, kemiskinan yang tadinya menurun jadi tambah membengkak kembali.
Para ahli ekonomi lebih-lebih lagi jumawanya, mereka melakukan penelitian dengan menggunakan bekal data-data statistik, kemudian menganalisisnya dengan model ekonometrika canggih, yang mungkin kalau Anda melihatnya saja membuat serasa mau muntah! Selanjutnya membuat suatu kesimpulan atau juga rekomendasi, “dampak variabel anu signifikan menurunkan anu…, variabel anu tidak signifikan menurunkan anu…, dst..dst…,” sesuatu yang terdengar sangat kering. Selanjutnya, kebijakan dibuat “dengan hanya” berdasarkan analisis angka-angka, dengan sejumlah asumsi “FAKTOR LAIN DIANGGAP TETAP”. Seolah kemiskinan ini memang problem eksak, yang bisa dieksperimentasi di komputer dengan hanya bersandar kepada bahan baku data berupa angka.
Reformasi, Apa yang Orang Miskin Dapat?
Sudah 12 tahun perjalanan reformasi di negeri ini, tapi tidak banyak yang berubah. Berapa banyak energi yang terbuang, uang yang terkuras (umumnya ya karena dikorupsi juga), dan waktu yang hilang, dengan hasil yang tidak menunjukkan perbaikan signifikan (hmm..lagi-lagi signifikan). Sebut saja kemiskinan masih cukup banyak menghinggapi. Memang data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan menurunnya angka kemiskinan. Tapi patut diingat yang dimaksud penduduk miskin ini, adalah penduduk yang didefinisikan BPS sebagai mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), di mana proksi “kebutuhan dasar” itu pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Kalau kita menggunakan pendekatan Bank Dunia, yang memakai ukuran moneter sebesar $2 dollar/hari, maka jumlah kemiskinan di Indonesia sangat jauh lebih besar dari apa yang tersaji pada data saat ini. Bahkan satu fakta yang pernah saya lihat dari dokumen Freedom Institute, bahwa meskipun Indonesia telah melakukan reformasi pasca tahun 1998, kemiskinan Indonesia masih merupakan yang terparah ke-3 di Asia Tenggara, setelah Kamboja dan Laos. Kemiskinan Indonesia bahkan lebih buruk dari: Myanmar (junta militer), Vietnam (komunis yang baru membuka diri), Philipina (demokrasi berdarah) dan, Thailand (konflik politik yang berkepanjangan). (lihat gambar).

Soal kemiskinan ini pun juga mengalami perdebatan pada level pengambil kebijakan (pemerintah, teknokrat, akademisi) akibat pendekatan ideologis yang beragam. Mereka yang pro-kapitalis (neoliberal) mengatakan bahwa kemiskinan disebabkan karena orang miskin malas bekerja keras. Sementara yang pro-sosialis, menilai kemiskinan muncul akibat: Pertama, ketidaksetaraan kelas, di mana kalaupun yang miskin ini bekerja keras (katakanlah 24 jam sehari non-stop) tidak akan memberikan perubahan kesejahteraan apapun. Kedua, sistem ekonomi.
Sekarang muncul lagi pemahaman welfare state. Landasannya terdiri atas tiga pilar, liberalisasi, demokrasi, dan kesejahteraan. Negara-negara Eropa menerapkan sistem ini, seperti Perancis dan Swiss. Di Swiss, misalnya kalau kita baca tulisan Djoko Susilo (Dubes RI untuk Swiss, Jawa Pos, 3 Mei 2011), tidak ada subsidi BBM, tetapi pendidikan dibuat gratis dan semurah-murahnya, dengan kualitas sebagus-bagusnya. Pelayanan kesehatan pun demikian, semua ditanggung negara.
Mendiskusikan Peran Negara dan Umat
Memang kita harus memandang proporsional terhadap kinerja pemerintah kita dalam menanggulangi kemiskinan. Yang jelek dikritisi, tapi kalau ada yang bagus ya kita apresiasi. Beberapa langkah program anti-kemiskinan memang cukup nyata dilakukan, meskipun dampaknya tidak begitu signifikan (lagi-lagi signifikan). Ada PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri), ada juga UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional)—yang sekarang tidak jelas apakah akan diamandemen atau tidak, juga sekarang mau disahkan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Terobosan yang dilakukan memang cukup bagus, meskipun entahlah, kadang-kadang penyakit kita ini : gagah dalam konsep, tapi menyedihkan dalam implementasinya.
Profesor Munawar Ismail, dosen saya di FEB Universitas Brawijaya, pernah mengatakan kalau salah kaprah pandangan yang mengatakan kemiskinan itu sebenarnya tanggung jawab negara saja. Dalam persfektif Islam, tanggung jawab kepada kaum miskin itu terbagi dengan jelas. Jadi kalau Anda miskin, maka yang paling bertanggungjawab itu sebenarnya orang tua. Kalau orang tua sudah tiada, maka keluarganya. Kemudian kerabatnya. Kemudian tetangga terdekatnya. Kemudian tetangga jauh (masyarakat pada umumnya). Baru kemudian pemerintah (negara). Dengan demikian, ada hirarki tanggung jawab yang juga dibebankan kepada umat (masyarakat), dalam menyelesaikan kemiskinan. Tidak semata dibebankan kepada figur negara.
Kalau kita renungkan mungkin ada benarnya. Selama ini kita terlalu berharap banyak dengan pemerintah. Padahal pemerintah juga sibuk dengan kebahagiaan dirinya sendiri. Jadi kalau kita melihat ada tetangga kita yang kelaparan, mengapa harus menunggu pemerintah memberikan santunan. Atau membuang-buang energi berdemo di depan kantor pemerintah, hanya untuk berharap suaranya didengar dan mendapat perhatian, setelah itu kemudian dilupakan. Suatu pekerjaan yang bisa jadi sia-sia dan berbiaya mahal, hanya untuk menyampaikan aspirasi. Kalau memang sekarang kita punya kelebihan, entah uang, atau makanan, kenapa tidak kita saja yang membantu orang miskin. Permasalahannya selesai.
Saya rasa memang “kekuatan tolong-menolong” inilah yang dapat menuntaskan problem tua, klasik, dan sekaligus jahat bernama kemiskinan. Sayangnya selama ini, tidak ada data statistik yang merupiahkan berapa banyak pertolongan umat kepada orang miskin. Kalau misalnya ada, bisa jadi pengaruhnya sangat-sangat signifikan terhadap kemiskinan (hahaha…lagi-lagi signifikan). Sehari-hari kita sering menyaksikan ada keluarga yang memberi makan anak yatim piatu; ada sedekah dari masyarakat kepada pengemis; ada distribusi zakat kepada kaum dhuafa. Jadi betapa sangat besarnya pertolongan umat, tanpa kita sadari.
Memang kemiskinan itu senantiasa ada. Kalau kita menggunakan pendekatan agama, Islam misalnya, memang kaya dan miskin itu sunatullah. Tetapi, minimal kemiskinan yang dimaksud di sini, bukan kemiskinan ekstrem. Di mana ketika kita sedang asyik menikmati makanan di restoran mewah, namun di luar restoran itu ada orang yang merintih kelaparan. Kita ingin, semua orang itu terpenuhi kebutuhan dasarnya, dan ini jelas tugas bersama. Itu saja. Kebutuhan dasar itu ialah makan, pendidikan, dan kesehatan. Kalau itu sudah terjamin, masalah dia tetap miskin, adalah kesalahannya sendiri. Kalau orang makannya terjamin, punya pendidikan, aman berobat jika sakit, tidak ada alasan dia tidak memiliki kemampuan untuk bekerja. Dia sehat, dia punya keterampilan, dia tidak kelaparan, mengapa dia harus menganggur dan mengapa dia miskin?
Saya selalu terngiang dengan apa yang disampaikan Profesor Munawar Ismail, dalam bukunya berjudul Sistem Ekonomi Nasional, yang mengatakan ada dua syarat tercapainya kesejahteraan umum di suatu negara. Pertama, terjaminnya pemenuhan kebutuhan primer sehingga semua warga negara secara minimal dapat hidup dengan layak. Kedua, tersedianya kesempatan untuk meraih kehidupan lebih baik di atas kebutuhan primer. Saya selalu memimpikan kondisi itu tercipta, secepatnya di negara kita ini. Dan di sanalah saya rasa negara dan umat harus bersatu untuk membantu nasib keluarga miskin.

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Leave a comment